Ekowisata dan Hak Atas Tanah: Menjaga Alam dan Budaya Sekaligus

Saat Anda menikmati keindahan alam Indonesia (dari pegunungan hijau hingga pantai perawan) ada pertanyaan penting yang sering terabaikan: siapa pemilik tanah yang Anda pijak? Apakah masyarakat setempat memperoleh manfaat dari kunjungan wisatawan? Apakah budaya lokal tetap lestari, atau justru terpinggirkan?

Ekowisata menjadi salah satu tren terbesar dalam industri pariwisata global. Data dari UNWTO tahun 2023 menyebutkan bahwa wisata berbasis alam dan budaya tumbuh lebih cepat dibandingkan segmen wisata lainnya, dengan pertumbuhan tahunan rata-rata mencapai 10%. Di Indonesia, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mencatat bahwa destinasi wisata berbasis alam seperti desa wisata, taman nasional, dan kawasan hutan adat mengalami lonjakan kunjungan hingga 35% pada tahun 2023 dibandingkan tahun sebelumnya (Sumber : pastibpn.id). Namun, di balik pertumbuhan tersebut, muncul tantangan serius: konflik hak atas tanah, marginalisasi masyarakat adat, serta eksploitasi atas nama konservasi.

Artikel ini membahas secara komprehensif keterkaitan erat antara ekowisata dan hak atas tanah, mengapa keduanya tak bisa dipisahkan, serta bagaimana pendekatan yang adil dan berkelanjutan bisa membawa manfaat bagi alam, budaya, dan masyarakat lokal secara bersamaan.

Memahami Makna Ekowisata Secara Utuh

Ekowisata bukan hanya soal berjalan-jalan di alam terbuka atau menikmati panorama. The International Ecotourism Society (TIES) mendefinisikan ekowisata sebagai “perjalanan bertanggung jawab ke alam yang melestarikan lingkungan, mempertahankan kesejahteraan masyarakat lokal, dan melibatkan unsur pendidikan.”

Dalam praktiknya, ekowisata idealnya memenuhi tiga prinsip utama:

  1. Konservasi alam
  2. Pemberdayaan ekonomi dan sosial masyarakat lokal
  3. Pendidikan lingkungan untuk wisatawan

Namun, tantangan muncul ketika kegiatan ekowisata justru mengabaikan prinsip kedua—yakni keterlibatan aktif dan perlindungan hak-hak komunitas lokal. Tanpa kontrol atas lahan mereka sendiri, masyarakat hanya menjadi objek wisata, bukan subjek pengelola.

Hak Atas Tanah: Akar Konflik dan Ketidakadilan

Ekowisata dan Hak Atas Tanah: Menjaga Alam dan Budaya Sekaligus
Ekowisata dan Hak Atas Tanah: Menjaga Alam dan Budaya Sekaligus

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terdapat 212 konflik agraria sepanjang tahun 2023 yang tersebar di 143 kabupaten/kota, dengan luas wilayah konflik mencapai 1,1 juta hektare dan melibatkan lebih dari 140.000 keluarga. Sebagian besar konflik tersebut terjadi di wilayah yang dikembangkan sebagai kawasan wisata atau konservasi. Korbannya adalah masyarakat adat dan komunitas lokal yang telah mendiami wilayah itu secara turun-temurun namun tidak memiliki pengakuan hukum formal.

Contoh nyata bisa dilihat di kawasan Danau Toba, Sumatera Utara, di mana pengembangan kawasan pariwisata super prioritas menyebabkan terjadinya klaim sepihak terhadap tanah adat Batak Toba. Konflik muncul ketika masyarakat tidak dilibatkan secara adil dalam perencanaan tata ruang dan pengelolaan sumber daya.

Dampak Ketimpangan Hak Tanah dalam Ekowisata

Ketika hak atas tanah diabaikan, dampak negatif yang muncul bukan hanya kerusakan sosial, tapi juga kegagalan konservasi. Berikut beberapa konsekuensi yang sering terjadi:

  • Eksklusi masyarakat lokal dari proses pengambilan keputusan
  • Ketimpangan ekonomi: keuntungan wisata hanya dinikmati investor atau pengelola eksternal
  • Degradasi budaya dan sistem pengetahuan lokal yang terpinggirkan
  • Kerusakan lingkungan akibat kegiatan wisata yang tak terkendali

Studi dari Rights and Resources Initiative (RRI) menunjukkan bahwa kawasan yang dikelola oleh masyarakat adat secara legal memiliki tingkat deforestasi yang lebih rendah dibandingkan kawasan konservasi formal tanpa keterlibatan komunitas. Artinya, pengakuan hak atas tanah bukan hanya isu keadilan sosial, tetapi juga strategi konservasi yang efektif.

Praktik Positif: Ketika Ekowisata dan Hak Komunitas Berjalan Bersama

Meski banyak tantangan, ada beberapa contoh keberhasilan pengelolaan ekowisata yang adil dan berkelanjutan:

1. Desa Nglanggeran, Gunungkidul

Nglanggeran dikenal sebagai salah satu desa wisata terbaik di dunia versi UNWTO tahun 2021. Kunci keberhasilannya adalah pengelolaan berbasis komunitas. Warga desa memiliki kontrol atas lahan, mengelola homestay, jalur pendakian, hingga edukasi geowisata. Keuntungan dikembalikan ke komunitas dan kegiatan wisata tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.

2. Ekowisata Sungai Utik, Kalimantan Barat

Komunitas Dayak Iban di Sungai Utik menjaga hutan adat seluas 9.452 hektare. Mereka menolak eksploitasi industri dan membuka wilayah secara terbatas untuk wisata berbasis edukasi dan konservasi. Pada 2020, UNESCO memberi penghargaan kepada komunitas ini atas komitmen mereka menjaga ekosistem dan kearifan lokal.

3. Suku Kichwa Sarayaku, Ekuador

Di Amerika Latin, komunitas Sarayaku menciptakan model ekowisata berbasis spiritualitas dan budaya yang dikenal sebagai “Kawsak Sacha” (Hutan Hidup). Wisatawan belajar tentang kosmologi dan perjuangan tanah adat secara langsung dari komunitas. Sarayaku juga memenangkan gugatan di Inter-American Court of Human Rights atas hak konsultasi bebas dan terdahulu (FPIC).

Kebijakan dan Peran Pemerintah: Antara Harapan dan Realita

Sejak Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/2012, Indonesia secara hukum mengakui bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara. Namun, hingga akhir 2023, pengakuan resmi baru mencakup 150 ribu hektare dari target 12,7 juta hektare yang ditetapkan dalam Kebijakan Hutan Sosial.

Hambatan pengakuan ini antara lain tumpang tindih kebijakan antar sektor, lemahnya kemauan politik daerah, dan keterbatasan kapasitas teknis. Akibatnya, banyak masyarakat adat yang tetap rentan terhadap pengambilalihan lahan, bahkan oleh proyek yang mengusung nama konservasi atau ekowisata.

Pemerintah daerah dan pusat perlu:

  • Mendorong percepatan legalisasi wilayah adat
  • Menyusun peraturan turunan yang mendukung wisata berbasis komunitas
  • Menyediakan akses pembiayaan dan pelatihan untuk komunitas lokal
  • Memastikan proses konsultasi dan persetujuan bebas dan terdahulu (FPIC) dalam setiap proyek wisata

Apa Peran Anda Sebagai Wisatawan?

Sebagai wisatawan, Anda punya kekuatan untuk mendorong perubahan melalui pilihan yang Anda ambil. Berikut langkah-langkah konkret:

  • Pilih destinasi yang dikelola oleh masyarakat lokal atau adat
  • Cari tahu apakah kawasan wisata memiliki riwayat konflik tanah
  • Dukung pemandu lokal, homestay komunitas, dan produk kerajinan tradisional
  • Hormati nilai-nilai dan aturan adat setempat
  • Bagikan pengalaman positif tentang destinasi yang berkeadilan

Dengan menjadi wisatawan yang sadar, Anda berkontribusi dalam memperkuat ekowisata yang benar-benar berkelanjutan.

Menyatukan Alam dan Budaya dalam Jejak Wisata Anda

Ekowisata yang sukses tidak hanya menyajikan keindahan alam, tetapi juga menghidupkan nilai-nilai budaya lokal dan memperkuat hak masyarakat atas tanah dan identitas mereka. Pendekatan berbasis hak (bukan sekadar konservasi semata) akan menciptakan pariwisata yang berkeadilan, berkelanjutan, dan menghormati semua pihak.

Dalam setiap langkah Anda menjelajahi alam, ada keputusan moral yang turut serta: apakah wisata itu membantu masyarakat setempat tumbuh dan berkembang, atau justru memperkuat ketimpangan?

Jawabannya ada di pilihan Anda.

Tinggalkan komentar