Apa alasan saya memasukkan anak ke pondok pesantren?
Pertanyaan yang kemudian terlontar dari orang-orang yang tahu kalau putri sulung saya saat ini ada di Ma’had atau asrama sekolah. Soalnya dulu tuh saya pernah berencana untuk anak-anak nanti homeschooling aja dan udah sering baca blog homeschooling untuk menambah pengetahuan. Eh, tidak dinyana jika ternyata anak-anak lebih enjoy di sekolah umum.
Ehm, lanjut ke pondok pesantren ya…
Siswa yang tinggal di asrama tuh biasanya disebut mondok (tinggal di pondok pesantren). Meskipun sebenarnya ada beberapa perbedaan ya. Tetapi saya tidak akan membahas lebih lanjut di sini tentang perbedaannya ya.
Secara umum sih mirip, di ma’had maupun di pondok pesantren sama-sama bisa belajar ilmu agama lebih dalam. Ada program-program keagamaan yang didapatkan oleh santri selain pelajaran umum seperti yang pernah saya singgung di tulisan ini.
Alasan Memasukkan Anak ke Pondok Pesantren
Lalu, apa alasan saya memasukkan putri sulung saya ke ma’had?
Keinginan Anak
Sebenarnya masuk ke ma’had adalah keinginan si kakak ya. Sejak kelas 4 SD dia sudah sering tanya ke saya tentang pondok pesantren. Lalu, saya tunjukkan beberapa pondok pesantren yang ada di Malang. Nah, dia pun tertarik dengan asrama sekolah di MTsN di dekat tempat tinggal kami. Ehm, tidak terlalu dekat sih sekitar 30 menit naik kendaraan.
Fokus pada Pembelajaran
Awalnya sih putri sulung saya ini tidak mau menempuh perjalanan untuk pulang-pergi dari pondok ke rumah. Menurutnya lebih baik sepulang sekolah di madrasah tsanawiyah langsung ke ma’had atau asrama saja. Sehingga dia pun bisa lebih fokus pada pembelajaran tanpa banyak gangguan, yang bisa membantu meningkatkan prestasi akademik.
Kedisiplinan dan Rutinitas
Kehidupan di ma’had cenderung lebih terstruktur dan memiliki rutinitas yang ketat, yang dapat membantu anak mengembangkan kedisiplinan dan tanggung jawab. Pernah ketika saya berkunjung si kakak cerita kalau dia pernah dihukum membaca surat Al-Waqiah sambil berdiri karena bangun saat adzan subuh berkumandang. Sejak saat itu dia pun langsung bangun ketika bel sholat tahajud berbunyi.
Pengembangan Kemandirian
Salah satu alasan yang juga pernah putri saya utarakan adalah ingin mandiri. Saya pun setuju, dengan hidup terpisah dari orang tua, anak-anak akan belajar menjadi lebih mandiri dan bertanggung jawab atas diri mereka sendiri.
Sebagai contoh saat ini si kakak (yang dulu hampir tidak pernah mencuci baju sendiri di rumah) harus mencuci sendiri bajunya di ma’had. Apalagi baju yang dibawa tuh terbatas, kalau malas mencuci tentu saja tidak ada gantinya nanti.
Dia harus berpikir cara membagi waktu antara belajar di madrasah, melakukan kegiatan rutin di ma’had, juga mencuci baju dan mengerjakan PR.
Alhamdulillah kalau masalah makan sehari-hari sih sudah dibantu pihak ma’had dan mereka tinggal makan teratur 3x sehari, hehehe.
Kesempatan untuk Berinteraksi dengan Teman Sebaya
Selama ini putri sulung saya jarang sekali keluar rumah dan berinteraksi dengan teman sebaya, kecuali saat masuk sekolah. Nah, di ma’had, anak-anak memiliki kesempatan lebih banyak untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman sebaya, yang dapat mendukung perkembangan sosial dan emosional mereka.
Cerita si kakak dia mendapatkan teman sekamar yang asik, solid, dan baik-baik. Mereka mau saling berbagi dalam kebaikan. Seperti saling membangunkan ketika waktunya sholat tahajud, berbagi makanan, saling meminjami barang-barang yang sekiranya bisa dipakai bergantian.
Pembelajaran Nilai-nilai Agama dan Etika
Oleh karena ma’had yang saat ini ditinggali putri saya berbasis agama, dia pun bisa mendapatkan pendidikan agama yang lebih intensif dan nilai-nilai etika yang kuat. Hal ini karena saya pun menyadari kalau sebagai orang tua (ayah bundanya) tidak memiliki ilmu agama yang mencukupi untuk diberikan padanya.
Tidak hanya mengaji al-qur’an tapi juga hadis, fiqih, dan ilmu agama lainnya yang tentu saja tidak didapatkan secara lengkap jika hanya di madrasah.